Nebula Carina: wilayah pembentuk bintang
(Sumber: NASA’S James Webb Space Telescope)
Akhir-akhir ini, mungkin kamu pernah mendengar perdebatan mengenai apa sebenarnya bentuk bintang. Sejak kecil, setiap ingin menggambar sebuah bintang, pasti kita akan menggambar bentuk segi lima dengan sudut lancip. Namun, apakah hal itu akurat secara sains? Jika kita melihat atau mengamati sebuah bintang di langit, baik di pagi hari maupun di malam hari, apakah kita akan melihat sebuah objek yang memiliki sudut-sudut? Mengapa selama ini selalu digambar sebagai objek yang memiliki sudut lancip?
Sebelumnya, memangnya ada bintang yang dapat kita lihat atau kita amati di pagi hari, ya? Iya, ada! Matahari adalah sebuah bintang! Keberadaan bintang yang kita sebut “Matahari” itu sendiri ialah alasan mengapa kita dapat merasakan “pagi hari”. Beberapa bintang yang kita lihat pada malam hari, sebenarnya memiliki planet yang mengitarinya (exoplanet), sama halnya seperti sistem Tata Surya kita yang terdiri dari Matahari dengan planet-planet dan objek-objek lain yang mengitarinya. Namun, cahaya exoplanet sangat redup dibandingkan dengan cahaya bintang yang dikelilinginya sehingga tidak dapat langsung diamati oleh mata kita, butuh metode tertentu untuk menemukan dan mengamatinya.
Citra Matahari yang diambil oleh Extreme ultraviolet Imaging Telescope (EIT) milik wahana antariksa
internasional SOHO pada 14 September 1999
di panjang gelombang 304 angstrom.
(Sumber: ESA/NASA/SOHO)
Matahari hanyalah satu dari banyaknya bintang di alam semesta. Di sisi lain, Matahari adalah satu-satunya bintang yang dapat kita amati secara detail dan kemudian menjadi sebuah dasar untuk mempelajari bintang-bintang lain di alam semesta. Dari sini, kita sudah dapat memperkirakan apa bentuk bintang yang sebenarnya. Sama seperti bintang yang ada di Tata Surya kita (baca: Matahari), bintang-bintang di seluruh alam semesta juga berbentuk bulat. Tapi, kenapa kok bisa berbentuk bulat? Lalu, mengapa sering digambar sebagai objek yang bersudut lancip?
Lahirnya suatu bintang terjadi di nebula, yaitu awan besar yang terdiri dari gas dan debu–sebagian besar gasnya adalah molekul hidrogren dan helium–di ruang angkasa. Awan-awan ini tersebar secara tidak merata, menyebabkan adanya perbedaan densitas atau kerapatan gas. Dengan kata lain, pada beberapa daerah di nebula, jumlah partikel atau gas yang tersebar lebih banyak dibandingkan pada daerah-daerah lainnya, menyebabkan daerah tersebut memiliki densitas gas yang lebih tinggi. Molekul-molekul gas di wilayah dengan densitas yang tinggi akan saling mendekat dan berkumpul akibat gaya gravitasi, menjadikan awan pada daerah tersebut semakin mampat dari daerah di sekitarnya.
Awan gas dan debu yang semakin memampat
menuju pusat massa akibat gaya gravitasi
(Sumber: Channel Youtube Professor Dave Explains)
Gaya gravitasi selalu menarik partikel-partikel gas di sekitarnya dari segala arah menuju pusat secara merata. Dengan kata lain, gaya gravitasilah yang membuat kumpulan awan semakin memampat secara merata dari segala arah, membentuk bola gas yang disebut sebagai bintang. Tentu, terdapat kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi agar sebuah bintang berhasil terbentuk–terdapat batas minimum massa yang diperlukan agar awan yang memampat tidak tercerai kembali akibat tekanan dari gaya gravitasi itu sendiri dan syarat-syarat lainnya–dan keseluruhan prosesnya tidak sederhana, tetapi kita cukup meninjau bagaimana gaya gravitasi bekerja pada kumpulan gas untuk menjawab mengapa bintang berbentuk bulat.
Namun, kenapa kita masih menggambarkannya dengan sebuah bentuk yang memiliki sudut-sudut lancip? Ternyata, meski bentuk bintang itu memang bulat, penggambarannya dengan sudut-sudut lancip tidak sepenuhnya salah ketika ditinjau secara sains, lo! Bahkan, bintang-bintang pada gambar yang ditangkap oleh James Webb Space Telescope (JWST) milik NASA juga terlihat memiliki sudut-sudut lancip di sekitarnya. Sudut-sudut lancip tersebut tercipta akibat konsekuensi dari bagaimana cahaya berinteraksi dengan sistem optik teleskop. Cahaya yang memiliki sifat seperti gelombang memancar sebagaimana perilaku air ketika batu dilempar ke dalamnya. Ketika berkas cahaya bintang melewati sebuah tepi atau celah sempit pada teleskop, cahaya akan tersebar dan mengalami perubahan arah. Gelombang cahaya yang saling bertemu kemudian menjadikan intensitasnya semakin meningkat atau menurun bergantung pada fase gelombangnya, menghasilkan pola gelap-terang yang disebut sebagai difraksi. Dalam kasus ini, sudut-sudut lancip (diffraction spike) pada bintang ialah pola terang yang tercipta. Jadi, cahaya yang dipancarkan oleh bintang yang berbentuk bulat dapat terlihat memiliki spikes atau sudut-sudut lancip karena cahaya tersebut berinteraksi dengan sistem optik teleskop dalam proses difraksi. Inilah alasan mengapa bintang berbentuk bulat, sedangkan dunia menggambarkannya sebagai objek yang memiliki sudut-sudut lancip.
Citra bintang (Sumber: NASA’S James Webb Space Telescope)
Penulis: Karyssa Tetiani Agusta (10322050)
Penyunting: M. Khawariz Andaristiyan (10321005)
Referensi:
Brill, R. (1999 6 Desember) How is a star born?. Scientific American. https://www.scientificamerican.com/article/how-is-a-star-born/.
Coffey, D. (2023, 13 November) Why are things in space round?. Live Science. https://www.livescience.com/space/why-are-things-in-space-round.
Haynes, K. (2020, 12 Februari). How many planets are there in the universe?. Astronomy. https://www.astronomy.com/science/how-many-planets-are-there-in-the-universe/.
Hustak, L. dan DePasquale, J. (2022, 7 Juli). Webb Webb’s Diffractions Spikes. Webb Space Telescope. https://webbtelescope.org/contents/media/images/01G529MX46J7AFK61GAMSHKSSN.