SpaceX's Starship second-stage during a Raptor vacuum static fire test (Sumber: SpaceX)
Jika kita memikirkan bidang ilmu pengetahuan yang membahas tentang antariksa, astronomi mungkin menjadi jawaban yang pertama. Namun, ternyata astronomi tidaklah sendirian dalam mempelajari antariksa yang luas ini. Mari berkenalan dengan astronautika, salah satu cabang ilmu pengetahuan dari teknik dirgantara (aerospace engineering) yang keilmuannya sangat dekat dengan astronomi. Jika aeronautika (teknik penerbangan) mempelajari wahana udara seperti pesawat terbang yang beroperasi di dalam atmosfer Bumi, astronautika mempelajari perancangan, peluncuran, pengoperasian, serta aplikasi wahana antariksa (seperti satelit) di luar atmosfer Bumi. Astronautika lahir dari pemahaman tentang gravitasi dan orbit planet-planet di Tata Surya yang mendorong imajinasi manusia untuk melakukan perjalanan antariksa. Seiring dengan perkembangan teknologi, muncullah keilmuan astronautika ini yang bertujuan untuk mewujudkan perjalanan antariksa. Nah, salah satu inovasi penting dalam dunia astronautika modern antara lain ialah teknologi reusable spacecraft. Sesuai namanya, reusable spacecraft adalah pesawat ruang angkasa yang dapat diluncurkan berkali-kali.
Pesawat X-15 yang merupakan pelopor dari konsep reusable spacecraft (Sumber: US Air Force)
Sekilas Sejarah Perkembangan Reusable Spacecraft
Konsep ini dimulai dengan pengembangan Pesawat X-15 oleh NASA dan US Air Force yang dimulai pada 1959. X-15 merupakan pesawat dengan propulsi roket yang mampu mencapai kecepatan hypersonic (6,173 – 12,348 km/jam) dan juga ketinggian hingga 108 km. Meskipun tidak didesain sebagai reusable spacecraft, pesawat ini menunjukkan potensi wahana yang dapat digunakan berulang-ulang setelah melakukan penerbangan antariksa. Reusable spacecraft dapat menjadi solusi untuk menggantikan desain spacecraft biasa yang kompleks dan mahal. Hal ini dikarenakan reusable spacecraft dapat menekan biaya per penerbangan secara signifikan walaupun membutuhkan investasi pengembangan yang besar. Desain wahana memerlukan material dan sistem khusus seperti struktur tahan panas, propulsi yang mudah dirawat, serta pendekatan kompromi desain yang lebih mengutamakan kemampuan penggunaan ulang dibandingkan performa maksimum.
Versi uji terbang wahana “Starship” milik SpaceX yang terbuat dari stainless steel (Sumber: Elon Musk)
Selain desain wahana, material yang digunakan juga tidak kalah penting. Material harus tahan suhu ekstrim, ringan, dan tentunya ekonomis. Perusahaan besar seperti SpaceX menggunakan stainless steel sebagai material utama wahana antariksa mereka. Akan tetapi, alternatif seperti komposit keramik tahan panas (UHTC) dapat menjadi solusi untuk kebutuhan yang lebih spesifik. UHTC biasa digunakan dalam nozzle roket, yaitu bagian mulut bawah roket yang berfungsi mempercepat dan memperluas pembakaran bahan bakar, mengingat material memiliki ketahanan terhadap panas yang baik. Hanya saja, biaya yang tinggi dan ketersediaan teknologi menjadi penghalang utama dalam implementasinya.
Tantangan dan Potensi Astronautika di Indonesia
Sayangnya, perkembangan teknologi astronautika di Indonesia perlu diakui masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara lain. Ekosistem astronautika yang masih menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya infrastruktur, membuat belum banyak perusahaan yang berkembang di lapangan ini. Akibatnya, Indonesia masih membutuhkan bantuan dan kerja sama dari luar negeri yang sudah berkecimpung lama dalam dunia astronautika. Padahal, Indonesia memiliki beberapa potensi strategis di sektor antariksa dibandingkan negara lain, salah satunya terletak pada posisi Indonesia itu sendiri. Lokasi Indonesia yang berada di khatulistiwa menjadikannya tempat yang cocok untuk tempat peluncuran roket/satelit. Semakin dekat tempat peluncuran roket/satelit dengan khatulistiwa, semakin sedikit pula bahan bakar yang diperlukan karena kita dapat memanfaatkan kecepatan rotasi Bumi. Fokus pemerintah dapat menjadi pemantik dalam perkembangan industri astronautika, baik melalui manufaktur komponen ataupun pengembangan teknologi strategis seperti satelit atau wahana peluncuran.
Meskipun begitu, harapan tetap masih ada. Seiring dengan perkembangan engineering, astronomi, dan potensi sumber daya manusianya, Indonesia dapat membangun ekosistem astronautika yang kokoh dan berdaya saing dengan negara lain. Di masa depan, harapannya Indonesia bukan lagi hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi menjadi kontributor aktif dalam perkembangan inovasi teknologi astronautika. Sekian tulisan ini dibuat, semoga dengan berkembangnya astronautika dapat membuka “jendela angkasa” Indonesia suatu hari nanti.
"Per Aspera Ad Astra - Menuju Bintang-bintang Melalui Jerih Payah"
Penulis: Muhammad Fadhlan Dhafin H. (10322016)
Penyunting: M. Khawariz Andaristiyan (10321005), Sulthon Furqandhani Araska (10321013), dan divisi Keprofesian Himastron ITB
Referensi:
Berdasarkan kegiatan Over The Horizon - Nexus 1: Astronotika bersama Keluarga Keluarga Mahasiswa Teknik Penerbangan (KMPN) ‘Otto Lilienthal’. (2024, 30 November).
Carpineti, A. (2024, 2 Juli). Why Do Most Rockets Launch From Close To The Equator?. IFLScience. https://www.iflscience.com/why-do-most-rockets-launch-from-close-to-the-equator-74919
Mike, W. (2019, 24 Januari). Why Elon Musk Turned to Stainless Steel for SpaceX's Starship Mars Rocket. Space. https://www.space.com/43101-elon-musk-explains-stainless-steel-starship.html.